Pembuatan tabuik

Pembuatan tabuik melibatkan berbagai elemen budaya, sosial, dan spiritual yang mendalam, menjadikannya lebih dari sekadar perayaan, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap sejarah Islam.

Tabuik adalah salah satu tradisi budaya yang khas di Minangkabau, Sumatera Barat, yang digelar setiap tahun untuk memperingati peristiwa Ashura, hari wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, yaitu Husain bin Ali.

Dalam upacara ini, dibuat sebuah miniatur kapal atau keranda yang disebut tabuik, yang melambangkan prosesi pemakaman dan perjalanan menuju akhirat.

Proses Pembuatan Tabuik

Proses Pembuatan Tabuik

Proses pembuatan tabuik dimulai dengan persiapan bahan-bahan yang akan digunakan. Biasanya, bahan utama yang digunakan adalah bambu, kayu, kain, dan cat.

Bambu dan kayu dipilih karena sifatnya yang ringan namun kuat, sehingga mampu menopang bentuk tabuik yang besar.

Para pembuat tabuik atau “pembuat tabuik” akan memulai dengan merangkai bambu menjadi rangka kerangka tabuik, yang akan menjadi fondasi dari keseluruhan struktur.

Rangka ini dibentuk secara hati-hati dengan teknik tertentu agar bentuk tabuik dapat berdiri tegak dan stabil.

Setelah rangka selesai, tahap berikutnya adalah melapisi rangka dengan kain berwarna-warni dan menambahkan berbagai hiasan.

Hiasan ini biasanya melibatkan elemen-elemen simbolik yang berkaitan dengan perjuangan Husain, seperti gambar perisai, pedang, dan bendera.

Penggunaan kain berwarna cerah, seperti merah dan hitam, memberikan kesan dramatis dan melambangkan perasaan duka yang mendalam terhadap peristiwa yang diperingati.

Pembuatan hiasan ini juga melibatkan keterampilan seni dekoratif yang diturunkan dari generasi ke generasi, menjadikan setiap tabuik unik.

Pada tahap akhir, tabuik yang telah selesai dibuat akan dihias dengan bunga dan ditempatkan pada suatu tempat tertentu untuk diarak.

 Prosesi pembuatan tabuik ini bukan hanya sekedar acara kerajinan, namun juga menjadi ritual bersama yang melibatkan masyarakat.

Setelah tabuik selesai dibuat dan dihias, prosesi perayaan tabuik pun dimulai. Pada hari pelaksanaan, tabuik akan diarak keliling kampung

oleh warga dengan penuh khidmat, diiringi dengan suara takbir dan irama musik tradisional.

Prosesi ini merupakan simbol penghormatan terhadap Husain dan sekaligus sebagai wujud rasa solidaritas dan persatuan masyarakat.

Melalui proses pembuatan dan pelaksanaan perayaan tabuik, tradisi ini terus dilestarikan sebagai bagian dari warisan budaya yang kaya akan nilai-nilai spiritual dan sosial.

Sejarah Tabuik sebagai Tradisi Islam di Sumatera Barat

Tabuik adalah salah satu tradisi yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat.

Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun sebagai bentuk peringatan dan penghormatan terhadap peristiwa tragis

dalam sejarah Islam, yaitu peristiwa kematian Imam Husain di Karbala pada tahun 680 M.

Tabuik berasal dari bahasa Arab, yang berarti “peti” atau “keranda,” merujuk pada replika dari peti jenazah yang digunakan dalam upacara ini.

Tradisi ini menggabungkan elemen-elemen ritual, budaya, dan keagamaan, serta menjadi sarana untuk memperingati nilai-nilai keadilan dan perjuangan dalam Islam.

Peringatan Tabuik pertama kali dilaksanakan di Minangkabau pada awal abad ke-19, tepatnya sekitar tahun 1800-an.

Sebagian besar masyarakat yang terlibat dalam tradisi ini adalah umat Muslim Syiah yang datang ke wilayah tersebut.

Mereka membawa serta ajaran dan tradisi Islam Syiah, termasuk upacara Tabuik, yang kemudian diterima dan dipraktikkan oleh masyarakat setempat.

Meskipun Sumatera Barat lebih dikenal sebagai pusat komunitas Muslim Sunni, tradisi ini tetap terpelihara dan dipertahankan sebagai bagian dari identitas budaya Minangkabau yang kaya akan nilai historis dan spiritual.

Tradisi Tabuik memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Minangkabau, selain sebagai bentuk peringatan terhadap tragedi Karbala, juga sebagai sarana untuk mempererat ikatan sosial antarwarga.

Walaupun Tabuik mengandung nilai keagamaan, acara ini juga diwarnai dengan unsur-unsur budaya lokal, seperti musik, tari, dan berbagai pertunjukan rakyat.

Sebagai bagian dari warisan budaya yang hidup, Tabuik mengandung pesan moral yang mengajak masyarakat

untuk selalu memperjuangkan keadilan, kedamaian, dan menghargai pengorbanan demi kemuliaan agama Islam.

Tabuik sebagai Simbol Kerukunan dan Solidaritas

Proses Pembuatan Tabuik

Tabuik merupakan tradisi unik yang berasal dari Sumatera Barat, khususnya di Kota Pariaman, yang dikenal sebagai simbol kerukunan dan solidaritas masyarakat Minangkabau.

Tradisi ini merupakan perayaan yang dilakukan setiap tahun untuk memperingati peristiwa Asyura, yang berhubungan dengan kisah kesedihan

dan perjuangan keluarga Nabi Muhammad SAW, terutama perjuangan Sayidina Husein di Karbala.

Tabuik sendiri berbentuk replika atau miniatur yang menyerupai keranda, yang dipersembahkan sebagai penghormatan kepada para syuhada.

Melalui perayaan ini, masyarakat menggambarkan rasa duka, namun sekaligus mengedepankan semangat persatuan.

Perayaan Tabuik biasanya melibatkan seluruh lapisan masyarakat, tanpa memandang status sosial.

Semua orang turut berpartisipasi dalam membuat dan mengarak tabuik, yang menandakan bahwa tradisi ini tidak hanya sekadar ritual, tetapi juga sarana untuk mempererat ikatan sosial antarwarga.

Proses pembuatan tabuik melibatkan gotong royong, di mana masyarakat saling membantu dalam berbagai aspek,

mulai dari merancang desain, menyiapkan bahan, hingga proses pengarakannya. Hal ini menjadi simbol nyata dari solidaritas yang tumbuh dalam masyarakat Minangkabau.

Selain sebagai sarana untuk mempererat hubungan antarwarga, Tabuik juga mencerminkan nilai-nilai luhur

yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Minangkabau, seperti kebersamaan, saling menghargai, dan musyawarah.

Dalam setiap aspek perayaan, terdapat pesan moral yang ingin disampaikan, yaitu pentingnya bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.

Hal ini menjadi contoh konkret bagaimana tradisi lokal dapat memperkuat ikatan sosial dalam sebuah komunitas.

Dengan begitu, Tabuik lebih dari sekadar ritual budaya. Tradisi ini telah menjadi simbol yang mengingatkan masyarakat akan pentingnya kerukunan dan solidaritas dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi masyarakat Minangkabau, Tabuik bukan hanya sebuah perayaan agama, tetapi juga wujud dari semangat kebersamaan yang menjadi jati diri mereka.

Melalui Tabuik, nilai-nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi terus hidup dan berkembang, menjaga keharmonisan dan persatuan di tengah keberagaman.

Baca Juga: https://ruangbimbel.co.id/kuliner-minangkabau/