Kebijakan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan.

Gunting Syafruddin

Kebijakan Gunting Syafruddin adalah pemotongan nilai uang (sanering). Tindakan keuangan ini dilakukan pada 20 Maret 1950 dengan cara memotong menjadi dua semua uang bernilai Rp 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya.

Karena Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada masa pemerintahan RIS.

Kebijakan Ekonomi Indonesia

Program Benteng (Benteng Group)

Kebijakan Ekonomi Indonesia – Begawan ekonomi yang banyak memberikan perhatian  terhadap pembangunan terhadap pembangunan  ekonomi Indonesia pada masa liberal ialah Dr. Soemitro Djojohadikusumo.

Soemitro berpendapat hal yang perlu dilakukan dalam pembangunan ekonomi Indonesia yaitu mengubah struktur ekonomi colonial menjadi struktur ekonomi nasional. Untuk itu perlu segera ditumbuhkan munculnya pengusaha –pengusaha pribumi agar dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional.

Pada umumnya para pengusaha pribumi bermodal lemah. Karena itulah pemerintah mencoba berperan dalam membantu memberikan bantuan kredit  dan memberikan bimbingan konkret.

Aturan Soemitro tersebut selanjutnya dituangkan dalam program Kabinet Natsir (September April 1951). Pada saat itu Soemitro menjabat sebagai menteri perdagangan.

Program Benteng telah dimulai pada bulan April 1950. Selama tiga tahun (1950 – 1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program benteng ini. Akan tetapi, tujuan dari program ini tidak dapat dicapai dengan baik padahal pemerintah sudah terlanjur menambah beban keuangannya.

Kegagalan program ini disebabkan para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing, dengan pengusaha nonpribumi dalam kerangka system ekonomi liberal.

Selain itu, mentalitas pengusaha yang cendrung konsumtif, ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah juga ikut  mendorong kegagalan program benteng.

Akibatnya, program atau gerakan  benteng (benteng  grup) ini menjadi salah satu sumber deficit keuangan, Beban deficit anggaran belanja pada tahun 1952 sebanyak tiga miliar rupiah ditambah dengan sisa deficit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 miliar rupiah.

Walaupun dilanda krisis moneter, namun menteri keuangan pada masa Kabinet Sukiman, Jusuf Wibisono masih memberikan bantuan kredit, khususnya kepada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan ekonomi lemah.

Melalui bantuan tersebut diharapkan masih terdapat pengusaha pribumi yang tampil sebagai produsen. Dengan demikian, devisa dapat dihemat  dengan mengurangi volume impor.

Nasionalisasi De Javasche Bank

Ketentuan – ketentuan dalam KMB mengenai De Javasche Bank sangat

Kebijakan Ekonomi Indonesia – Melemahkan kedudukan pemerintah Republik Indonesia. Karena Dalam perjanjiannya tersebut ditetapkan bahwa suatu peraturan pemerintah Indonesia tentang De Javasche Bank dan pemberian kredit dari De Javasche Bank kepada pemerintah Indonesia harus  dikonsultasikan kepada pemerintah Belanda.

Perubahan dari konstitusi RIS menjadi UUDS 1950 tidak mengubah ketentuan – ketentuan tersebut. Hal tersebut tentu sangat menghambat pemerintah Indonesia dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneternya.

Masa tanggal 19 juni 1951, Kabinet Sukiman membentuk Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank . selanjutnya, berdasarkan keputusan – keputusan RI No 122 dan 123 tanggal 12 juli 1951, pemerintah langsung memberhentikan Dr Houwink sebagai Presiden De Javasche Bank dan mengangkat Mr. Syafruddin Prawiranegara (mantan menteri keuangan pada Kabinet RIS) sebagai Presiden De Javasche Bank yang baru.

Pada 15 Desember 1951 diumumkan Undang – Ungdang No. 24 tahun1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.

Sistem Ekonomi Ali-Baba

Kebijakan Ekonomi Indonesia – Sistem Ekonomi Ali-Baba muncul atas prakarsa Mr.IskaqTjokrohadisurjo menteri perekonomian dalam Kabinet Ali Sastromijoyo I. Kabinet ini memproritaskan kebijakan Indonesianisasi. Oleh karena itu, cabinet ini mengutamakan tumbuh dan berkembangnya pengusaha swasta nasional  pribumi dalam rangka merombak  ekonomi  colonial menjadi ekonomi  nasional.

Dalam system Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi, sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusaha nonpribumi. Untuk memajukan ekonomi Indonesia, perlu ada kerja sama antara pengusaha pribumi dan pengusaha nonpribumi.

Dalam kebijakan Ali-baba ini pengusaha nonpribumi diwajibkan untuk memberikan latihan – latihan dan tanggung jawab kepada tenaga – tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki jabatan Staf. Oleh sebab itu  pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha – usaha swasta nasional dan memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan  perusahaan –perusahaan asing yang ada.

Selanjutnya Program ini tidak dapat berjalan dengan baik maka pengusaha  pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.

Persetujuan Finansial Ekonomi (Finek)

Pada masa pemerintah Kabinet Burhanudin Harahap dikirimkan suatu delegasi ke Jenewa untuk merundingkan masalah financial – ekonomi (finek) antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung. Pada 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek yang di antara nya berisi sebagai berikut :

  1. Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
  2. Hubungan Finek Indonesia – Belanda di dasarkan atas hubungan bilateral.
  3. Hubungan Finek di dasarkan pada undang – undang nasional tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.

Demikianlah artikel diatas dari ruangbimbel.co.id. semoga artikel ini bermanfaat dan menambah wawasan kita semua. Terima kasih